Minggu, 11 September 2011

Sketsa-sketsa Pendek di Hari Selasa


WAKTU ARIZKY

Arizky tak tahu menahu tentang waktu. Yang pasti ia masih ingin bernyanyi, memberi makan ayam ikan, bersendau gurau dengan teman, atau mendengarkan suara Bryan Adams sambil ginjal-ginjal di kamar. Tapi kenapa jam sudah menunjukkan pukul sebelas. Padahal Arizky belum sempat belanja kaos di pasar, berenang di Kendedes, membaca cerpen Agus Noor vs Djenar Maesa Ayu sambil membayangkan dirinya jadi peri, serta membantu Ayah merenovasi rumah. Ia tak pernah sadar kalau waktu bisa begitu tak ramah. Masih ada PR Kimia yang belum dikerjakan dan janji bertemu pacar di sebuah taman. Ketika jam masih pukul sepuluh Arizky pernah berangan-angan menjadi Presiden, menjadi ahli DNA nomor wahid di seantero jagad, dan berenang bersama ikan pari di samudera. Entahlah, mungkin Tuhan memberikan waktu untuk melena manusia, dan ketika vonis sakit mendekati mati diberikan, manusia merasa waktu begitu singkat. Tik tok tik tok, waktu terus berjalan, sementara Arizky tak tahu harus bagaimana? Sekarang waktu adalah rivalnya, ia harus bisa mendahului waktu. Arizky terus berlari. Dalam pikirannya ia masih ingin untuk nonton film di 21 atau jadi anak paling pintar di sekolah. Tapi Arizky tahu, harus bermunajat pada-Nya. Sebelum rumahnya berubah jadi labu dan dia dikutuk jadi batu.

NOMOR SATU

Gimana rasanya kalo kamu nggak punya cukup waktu, untuk berbakti pada Ibu dan Bapak. Untuk meraih cita-cita. Untuk jadi nomor satu di kelas.
Bapakku selalu bilang aku harus jadi nomor satu, bukan dua, bukan tiga. Tapi nyatanya aku selalu jadi nomor dua, bahkan tiga, bahkan empat.
Nomor satu nggak bakal dilupa
Nomor satu nggak bakal terinjak
Nomor satu itu dipercaya
Nomor satu itu juara
Nomor satu itu istimewa
Nomor satu itu number one
Kamu harus jadi nomor satu!
Itu kata Bapak.
Terus siapa yang harus jadi nomor dua, nomor tiga, juga empat kalo semua orang di dunia pengen jadi nomor satu?
Aku nggak tahu apa yang aku omongin.
Tapi ketika aku melihat anakku sendiri membaca buku ensiklopedi mahal yang baru kubelikan , aku pengen anakku jadi nomor satu.

SEBELUM WISUDA

Besok adalah hari ketika kamu diwisuda. Semua orang akan berdecak kagum melihatmu naik ke atas panggung. Pasti. Kau bagaikan terbang menuju surga firdaus lalu jatuh menembus awan-awan empuk dan terbaring di hamparan rumput hijau nan nyaman. Perlahan. Semuanya berjalan indah dan tepat pada waktunya. Semua usahamu tak sia-sia. Tak pernah. Setidaknya kali ini. Kau ingat bagaimana kau belajar tengah malam dan sholat hajad juga dhuha tak pernah kau lupakan, serta berjuang sendiri tanpa teman akan berbuah keberhasilan. Kau memang yang terbaik!
Namun tiba-tiba kau terbangun, entah mengapa malam ini resah. Mungkin sedikit nervous karena besok akan diwisuda. Masih dini hari, gumammu sambil kau lihat jam di meja belajar. Lalu kau arahkan pandangant ke kaca apartemenmu. Alangkah terkejutnya dirimu saat menatapi apa yang terjadi di kaca riben berukuran segi empat itu. Di sana, tampak Ibu Bapakmu beserta adikmu menangis di tengah-tengah kungkungan api yang menjilat-jilat seperti lidah naga. Mereka memanggil-manggil namamu. Ingin bertemu, jauh, jauh di sana, di sebuah negeri.
Negeri yang kau ingat bernama Indonesia.


JANJI

Di atas bukit di bawah pohon randu kita pernah mengubur janji. Seperti katamu, “Everybody have their own path,” kita berpisah. Kau menjemput matahari, aku menjemput pelangi.
Tak ada yang pernah tahu rahasia takdir dan hati. Socrates yang bergumam bahwa pemimpin itu babu tak pernah tahu. Colombus yang membuktikan bumi itu akan kembali pada titik awal, tidak melulu berjalan terus juga tak tahu. Atau Mahatma Gandhi yang mati karena memikirkan orang lain sekalipun tak pernah tahu.
Tapi kita tahu, sebuah janji yang terkubur di atas bukit di bawah pohon randu yang sekarang berubah jadi bianglala merah. Tepat 22 tahun semenjak janji itu terkubur, setelah bilang “Everybody have their own path” kau tak pernah kembali untuk menepati janji.



IMPIAN

Gustaf selalu berharap jadi konglomerat atau memiliki kembaran seorang menteri di suatu tempat. Gustaf juga pernah berharap menjadi burung, kupu-kupu, dan pangeran tampan.
Ketika waktu berjalan tik tok tik tok Gustaf memandangi pantulannya di kaca. Tampak miskin dan menyedihkan, ah wajah siapa itu, seandainya ia jadi insinyur. Lalu waktu berjalan lagi tik tok tik tok, dan Gustaf ingin menjadi Tuhan.

SANG BIDUAN

Narsih duduk terpatut di kaca rias. Dipolesnya bibirnya dengan gincu merah terang mengundang. Perlahan pipi-pipinya berselimut bedak murahan. Ia pandangi sosok di kaca rias. Cantik. Ditambah lagi pakaian sejenis babydoll pendek oranye seksi yang ia kenakan, membuat semua lelaki pasti langsung klepek-klepek. Ia ke luar ruangan, bersiap untuk tampil.
Di luar, pentas sudah ramai ternyata, orang-orang menyorakinya mengutusnya segera berdendang.
Malam ini, Narsih siap menyanyi hingga 5 lagu. Yang terpenting uang untuk lebaran akan mengucur. Ah, memang nasib jadi penyanyi orkes, lihatlah Narsih harus bergoyang heboh untuk dapat bonus.
Sembari menyanyi dipandanginya wajah-wajah yang terlena, tertawa, cekakan, dan seperti terhipnotis di bawah panggung. Hingga ia melihat seraut wajah kuyu di tengah-tengah penonton. Wajah hitam penuh lelah dan urat otot yang menyembul di leher, pertanda hidup berat. Itu wajah Bapak. Narsih kaget. Seketika ia terhuyung-huyung di tengah pentas. Ia pingsan.
Ketika sadar Narsih sudah berada di ruang ganti. Mami dan beberapa penggerak diesel sudah mengelilinginya, tampak khawatir. Lalu menyeruak seorang pria tua dari tengah kerumunan menghampirinya. Bapak.
Narsih gemetar. Ia takut. Perlahan Bapak berkata. Terbata-bata. “Narsih, kenapa ka...kamu ndak nyekar ke kuburan Bapak, Nduk?” Narsih tak tahu harus menjawab apa. Matanya berkunang-kunang, gincunya terasa pahit, lidahnya kelu, suara mami yang memanggil-manggil dirinya tak terdengar hanya tampak mulut yang menaganga-nganga lalu buram. Lalu Narsih pingsan, lagi.*

*Malang, 6 September 2011
Mengisi waktu untuk cadangan sewaktu-waktu; Saat antri di tukang cukur, setelah membaca cerpen Djenar Maesa Ayu “Waktu Nayla”, saat belanja di alfamart, saat terpekur sendiri di rumah, saat menjelang maghrib:   Terima kasih untuk Dini, Ziky, Angga, Farah, Mifta, Ema yang mau menjadi tempat curaha-curahanku ini berlabuh di hp mereka masing-masing. Hehehe:p