WAKTU ARIZKY
Arizky tak tahu menahu tentang waktu. Yang pasti ia masih
ingin bernyanyi, memberi makan ayam ikan, bersendau gurau dengan teman, atau
mendengarkan suara Bryan Adams sambil ginjal-ginjal di kamar. Tapi kenapa jam
sudah menunjukkan pukul sebelas. Padahal Arizky belum sempat belanja kaos di
pasar, berenang di Kendedes, membaca cerpen Agus Noor vs Djenar Maesa Ayu
sambil membayangkan dirinya jadi peri, serta membantu Ayah merenovasi rumah. Ia
tak pernah sadar kalau waktu bisa begitu tak ramah. Masih ada PR Kimia yang
belum dikerjakan dan janji bertemu pacar di sebuah taman. Ketika jam masih
pukul sepuluh Arizky pernah berangan-angan menjadi Presiden, menjadi ahli DNA
nomor wahid di seantero jagad, dan berenang bersama ikan pari di samudera.
Entahlah, mungkin Tuhan memberikan waktu untuk melena manusia, dan ketika vonis
sakit mendekati mati diberikan, manusia merasa waktu begitu singkat. Tik tok
tik tok, waktu terus berjalan, sementara Arizky tak tahu harus bagaimana?
Sekarang waktu adalah rivalnya, ia harus bisa mendahului waktu. Arizky terus
berlari. Dalam pikirannya ia masih ingin untuk nonton film di 21 atau jadi anak
paling pintar di sekolah. Tapi Arizky tahu, harus bermunajat pada-Nya. Sebelum
rumahnya berubah jadi labu dan dia dikutuk jadi batu.
NOMOR SATU
Gimana rasanya kalo kamu nggak
punya cukup waktu, untuk berbakti pada Ibu dan Bapak. Untuk meraih cita-cita.
Untuk jadi nomor satu di kelas.
Bapakku selalu bilang aku harus
jadi nomor satu, bukan dua, bukan tiga. Tapi nyatanya aku selalu jadi nomor
dua, bahkan tiga, bahkan empat.
Nomor satu nggak bakal dilupa
Nomor satu nggak bakal terinjak
Nomor satu itu dipercaya
Nomor satu itu juara
Nomor satu itu istimewa
Nomor satu itu number one
Kamu harus jadi nomor satu!
Itu kata Bapak.
Terus siapa yang harus jadi nomor
dua, nomor tiga, juga empat kalo semua orang di dunia pengen jadi nomor satu?
Aku nggak tahu apa yang aku
omongin.
Tapi ketika aku melihat anakku
sendiri membaca buku ensiklopedi mahal yang baru kubelikan , aku pengen anakku
jadi nomor satu.
SEBELUM WISUDA
Besok adalah hari ketika kamu
diwisuda. Semua orang akan berdecak kagum melihatmu naik ke atas panggung.
Pasti. Kau bagaikan terbang menuju surga firdaus lalu jatuh menembus awan-awan
empuk dan terbaring di hamparan rumput hijau nan nyaman. Perlahan. Semuanya
berjalan indah dan tepat pada waktunya. Semua usahamu tak sia-sia. Tak pernah.
Setidaknya kali ini. Kau ingat bagaimana kau belajar tengah malam dan sholat
hajad juga dhuha tak pernah kau lupakan, serta berjuang sendiri tanpa teman
akan berbuah keberhasilan. Kau memang yang terbaik!
Namun tiba-tiba kau terbangun, entah
mengapa malam ini resah. Mungkin sedikit nervous
karena besok akan diwisuda. Masih dini hari, gumammu sambil kau lihat jam di
meja belajar. Lalu kau arahkan pandangant ke kaca apartemenmu. Alangkah
terkejutnya dirimu saat menatapi apa yang terjadi di kaca riben berukuran segi
empat itu. Di sana, tampak Ibu Bapakmu beserta adikmu menangis di tengah-tengah
kungkungan api yang menjilat-jilat seperti lidah naga. Mereka memanggil-manggil
namamu. Ingin bertemu, jauh, jauh di sana, di sebuah negeri.
Negeri yang kau ingat bernama
Indonesia.
JANJI
Di atas bukit di bawah pohon randu kita pernah mengubur
janji. Seperti katamu, “Everybody have their own path,” kita berpisah. Kau
menjemput matahari, aku menjemput pelangi.
Tak ada yang pernah tahu rahasia takdir dan hati. Socrates
yang bergumam bahwa pemimpin itu babu tak pernah tahu. Colombus yang
membuktikan bumi itu akan kembali pada titik awal, tidak melulu berjalan terus
juga tak tahu. Atau Mahatma Gandhi yang mati karena memikirkan orang lain sekalipun
tak pernah tahu.
Tapi kita tahu, sebuah janji yang terkubur di atas bukit di
bawah pohon randu yang sekarang berubah jadi bianglala merah. Tepat 22 tahun
semenjak janji itu terkubur, setelah bilang “Everybody have their own path” kau
tak pernah kembali untuk menepati janji.
IMPIAN
Gustaf selalu berharap jadi konglomerat atau memiliki
kembaran seorang menteri di suatu tempat. Gustaf juga pernah berharap menjadi
burung, kupu-kupu, dan pangeran tampan.
Ketika waktu berjalan tik tok tik tok Gustaf memandangi
pantulannya di kaca. Tampak miskin dan menyedihkan, ah wajah siapa itu,
seandainya ia jadi insinyur. Lalu waktu berjalan lagi tik tok tik tok, dan
Gustaf ingin menjadi Tuhan.
SANG BIDUAN
Narsih duduk terpatut di kaca rias. Dipolesnya bibirnya
dengan gincu merah terang mengundang. Perlahan pipi-pipinya berselimut bedak
murahan. Ia pandangi sosok di kaca rias. Cantik. Ditambah lagi pakaian sejenis
babydoll pendek oranye seksi yang ia kenakan, membuat semua lelaki pasti
langsung klepek-klepek. Ia ke luar ruangan, bersiap untuk tampil.
Di luar, pentas sudah ramai ternyata, orang-orang
menyorakinya mengutusnya segera berdendang.
Malam ini, Narsih siap menyanyi hingga 5 lagu. Yang terpenting
uang untuk lebaran akan mengucur. Ah, memang nasib jadi penyanyi orkes,
lihatlah Narsih harus bergoyang heboh untuk dapat bonus.
Sembari menyanyi dipandanginya wajah-wajah yang terlena,
tertawa, cekakan, dan seperti terhipnotis di bawah panggung. Hingga ia melihat
seraut wajah kuyu di tengah-tengah penonton. Wajah hitam penuh lelah dan urat
otot yang menyembul di leher, pertanda hidup berat. Itu wajah Bapak. Narsih
kaget. Seketika ia terhuyung-huyung di tengah pentas. Ia pingsan.
Ketika sadar Narsih sudah berada di ruang ganti. Mami dan
beberapa penggerak diesel sudah mengelilinginya, tampak khawatir. Lalu
menyeruak seorang pria tua dari tengah kerumunan menghampirinya. Bapak.
Narsih gemetar. Ia takut. Perlahan Bapak berkata.
Terbata-bata. “Narsih, kenapa ka...kamu ndak nyekar ke kuburan Bapak, Nduk?”
Narsih tak tahu harus menjawab apa. Matanya berkunang-kunang, gincunya terasa
pahit, lidahnya kelu, suara mami yang memanggil-manggil dirinya tak terdengar
hanya tampak mulut yang menaganga-nganga lalu buram. Lalu Narsih pingsan, lagi.*
*Malang, 6 September
2011
Mengisi waktu untuk cadangan sewaktu-waktu; Saat antri di tukang cukur,
setelah membaca cerpen Djenar Maesa Ayu “Waktu Nayla”, saat belanja di
alfamart, saat terpekur sendiri di rumah, saat menjelang maghrib: Terima kasih untuk Dini, Ziky, Angga,
Farah, Mifta, Ema yang mau menjadi tempat curaha-curahanku ini berlabuh di hp
mereka masing-masing. Hehehe:p
