Lembayung sore hari itu terlihat kelabu. Seorang gadis muda, menatap lembayung yang terpampang di hadapannya dalam-dalam. Tampak di kejauhan, para nelayan sibuk merapat ke Dermaga. Gadis itu, masih belum beringsut dari posisinya. Ia menghirup nafas panjang sambil pelan-pelan dia hembuskan.
“Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?” Ucapnya lirih.
Dermaga sore hari itu mulai gelap. Para nelayan juga telah kembali ke rumah mereka, berjumpa dengan keluarga yang telah menunggu dengan penuh harap. Namun, Si Gadis tetap tak beranjak dari posisinya. Awan yang mulai gelap dan semilir angin Dermaga tak kuasa membendung tangisnya.
***
Si Gadis berjalan cepat menyusuri koridor sekolah. Dia sudah tidak sabar untuk berjumpa dengan Sahabat barunya. Belum, belum menjadi sahabatnya! Namun Si Gadis bertekad untuk menjalin persahabatan dengan Sahabat barunya itu, hari ini.
Akhirnya. Di belakang kantin sekolah dia menemukannya, seseorang yang akan menjadi sahabatnya itu. Gadis yang bernama Happy itu terlihat murung. Rambutnya yang panjang jatuh menutupi wajahnya. Tak ada yang memperhatikannya duduk di bangku taman kecil.
Si gadis tetap memperhatikannya dari balik tembok mading, tanpa berani menegur sapa. Ia ingat saat petama kali berpapasan dengan Happy. Gadis cantik itu, hanya menunduk memandangi tiap jengkal kakinya melangkah. Dan rambutnya saat itu, basah seperti habis diguyang air.
“Dia itu memang aneh!” Ujar salah satu temannya suatu hari.
Namun Si Gadis tak pernah menganggap Sahabat barunya itu aneh. Si Gadis ingin berkenalan lebih jauh dengan Sahabat barunya itu, Ia ingin meringankan kesedihan yang tergambar jelas di wajahnya. Namun, wajah Sahabat barunya tersebut, selalu membuat dia enggan. Pun hanya menegur sapa dan memulai perbincangan. Si Gadis takut jika Sahabat barunya itu tersinggung karena ia berusaha mencampuri urusannya.
“Eh…kalian tahu nggak? Si Aneh itu memang nyebelin. Sebentar saja dia udah ngebuat banyak masalah. Bayangin aja…cowok ganteng macam Kak Randy bisa terpesona ma dia. Ih…amit-amit deh, mungkin dia pake susuk ya!”
Si Gadis berusaha menampik semua omongan teman-temannya. Dia merasa iba dengan Sahabat barunya tersebut. Bukan salahnya kan kalau Kak Randy yang terkenal ganteng itu, menyukainya! Si Gadis juga berpendapat, bahwa Sahabat barunya itu memang cantik. Jika saja dia mau sedikit tersenyum, pasti aura kecantikannya akan terpancar.
“Ah…”Si Gadis masih memandangi Sahabat barunya itu, tanpa berani menegurnya. “Apa sebenarnya masalahnya?” Ucapnya lirih. Entah kenapa timbul perasaan simpati yang mendalam pada diri Si Gadis, jika ia berjumpa dengan Sahabat barunya itu. Dia ingin menjadi sahabat bagi Sahabat barunya tersebut.
Teet……..Bel berbunyi nyaring, menandakan waktu istirahat telah usai. Si Gadis pun beranjak pergi dari tempat itu, “Belum…belum saat ini.” Ucap Si Gadis sambil bertekad untuk menegur Sahabat barunya di lain kesempatan.
***
Sebuah goresan silet baru telah membekas di jari manis Happy. Toilet yang berada di belakang sekolah itu, dipenuhi air yang telah bercampur dengan darah yang berasal dari jari manis Happy sendiri. Ia menangis meraung-raung.
Pagi ini, ia menabrak Cynthia. Ia tidak sengaja menabrak temannya itu saat masuk ke dalam kelas. Namun, Chynthia malah menghina dirinya di depan teman-teman sekelasanya. Semua itu membuatnya frustasi. Setiap ia merasa menyakiti orang lain atau merasa orang lain marah terhadapnya, dia akan melukai dirinya sendiri dengan menyileti jari-jarinya. Walaupun hanya masalah kecil dan kejadian yang tak disengaja.
***
Untuk Surya,
Aku telah pindah ke sekolah baruku. Semua tak berjalan sesuai dengan ekspetasiku. Bagaimana dengan dirimu? Masihkah kau suka menjemput nelayan yang merapat ke Dermaga? Hmm…aku sudah tidak sabar mendapat kiriman puisi yang kau buat di Dermaga!
Hari ini di rumahku sepi, seperti biasanya. Ayah pergi Ke Malang, dikarenakan salah satu sapi di BBIB-nya melahirkan bayi kembar. Kadang-kadang aku berfikir kalau Ayah lebih sayang pada sapi-sapinya.
Tapi terima kasih ya… kau masih mau membalas surat-suratku ini. Membuatku tak kesepian.
Sahabatmu,
HAPPY
***
Terlalu pagi untuk siswa datang ke sekolah. Namun Si Gadis telah sibuk menempelkan artikel-artikel baru di mading sekolah. Memang, Si Gadis adalah Pimred ekskul jurnalistik SMA Budi Mulia. Kegiatan tersebut rutin ia lakukan seminggu sekali guna mengganti edisi mading sekolah. Biasanya, ia ditemani teman-teman anggota jurnalistik yang lain. Namun teman-temannya banyak yang tidak enak badan hari itu. Maklum, pagi itu tak seperti biasanya. Udara yang dingin, membuat tubuh enggan keluar dari selimut yang hangat. Ditambah lagi hujan yang turun rintik-rintik, seakan menghambat sinar matahari menembus bumi.
Dia baca lagi puisi yang akan ditempelnya
Ilusi Pasti
Enyah dari hadapanku
Yesterday, yesterday, yesterday
Terpampang di hadapanku
Today, today, today
Tersorot di balik tirai
Kumelangkahi ke depan
Kutinggal jejak di belakang
Setiap jejak adalah pasti
Namun langkah masih ilusi
Oh….tapi apakah jejak yang pasti itu bahagia?
Bagaimana langkah yang masih ilusi tersebut?
Aku tak tahu
Yang aku mengerti…
Adalah, hati yang rapuh sekali pun
Dapat tetap menyayangi, kesepian, dan menyayangi lagi
Begitu pula dengan hatiku.
HAPPY
Tanpa terasa Si Gadis meneteskan air mata. Ia temukan puisi itu di depan ruang kelas Sahabat barunya kemarin, jatuh. Ia ingin mengembalikan puisi itu kepada Sahabat barunya sambil berkenalan. Namun, puisi itu terlalu indah untuk disimpan. Puisi itu, akan ia tempelkan di mading sekolah. Setelah itu, dia akan menghampiri Sahabat barunya sambil membawakan sebungkus coklat.
“Kenapa dirimu tak sebahagia namamu…HAPPY.” Ucap Si Gadis.
***
Hujan rintik-rintik membasahi jalanan yang menuju SMA Budi Mulia. Happy tergesa-gesa menuju kelasnya.
“Oh…ini ya Si Putri ANEH itu! Dasar Lo ya…TEMEN MAKAN TEMEN!”
“Apa maksud kamu? A…aku nggak ngerti!” Happy yang baru datang, tidak mengerti ucapan Deka. Dia takut dan sendiri saat itu.
“Alah, nggak usah belagak lugu deh. Lo kan yang nyobek surat cinta yang bakal gue serahin ke Randy? Ngaku aja deh!” Omel Deka.
“Enggak Dek, aku nggak tahu apa-apa!” Ucap Happy lirih.
“Ini apa? Gue nemuin surat cintanya Deka ada di meja Lo! Udah dalam keadaan sobek!” Siska tak mau kalah menghakimi Happy.
“Gue diberi tugas ma Deka, buat ngecek surat itu nyampe ke Randy! Makanya, gue berangkat pagi-pagi buat mastiin surat itu masih ada di kolongnya Randy apa nggak? Dan nyatanya…surat itu udah nggak ada and udah dalam keadaan sobek di meja Lo!” Timpal Siska.
“Aku bener-bener nggak tahu, Dek” Ucap Happy memelas.
“Persetan ma omonganmu. Dasar serigala berbulu domba!” Bentak Deka sambil melayangkan tamparannya ke wajah Happy.
“Iya bener banget. He…Nini Pelet! nggak usah pasang susuk ya buat ngegaet cowok.” Siska tak mau kalah menjambak rambut Happy.
Selepas Deka dan Siska pergi, Happy masih terduduk di pojok kelas. Ia tak tahu menahu masalah surat cinta itu, siapa yang melakukannya? Pikirannya menerawang jauh. Dan tiba-tiba kepalanya pusing!
Keluar dari kelas, Siska tersenyum puas. Hmm…sekali mendayung dua, tiga pulau terlampau! Aku juga ingin ngedapetin Randy, nggak Cuma kamu ma gadis aneh itu! Batinnya sambil terus mengikuti langkah Deka.
***
Untuk Happy,
Bukankah hati yang rapuh sekali pun masih bisa menyayangi? Kau masih memiliki aku sebagai sahabatmu. Tak usah kau pedulikan teman-teman sekolahmu.
Kemarin, aku merenung di Dermaga. Aku senang sekali melihat para nelayan itu…mereka pulang ke rumah keluarga yang menantinya dengan penuh suka cita, sambil membawa ikan hasil tangkapan untuk makan dan dijual.
Terkadang aku juga berfikir mengenai hidup ini! Sama halnya seperti sunset di dermaga…akan tenggelam sesuai waktunya.
Sama halnya seperti kita juga, akan pergi sesuai waktunya. Aku sayang kamu HAPPY!
Ps : Oh iya…aku sudah membuatkan puisi baru untukmu…di balik surat ini!
Sahabatmu,
SURYA
***
Sejak kejadian itu, semua siswa mulai menjauhi Happy. Semakin banyak siswa yang tak mau berteman dengannya. Predikat aneh dan jahat sudah cukup membuatnya terasingkan.
“Ih…dasar! Udah aneh, jahat lagi,” “Iya…nggak bakalan deh aku jadi TEMEN yang MAKAN TEMEN!”
Sejak saat itu, Happy tak kenal yang namanya sahabat. Tidak ada yang mau menjadikannya sahabat. Semua memandangnya hina. Happy menangis meraung-raung di kamar mandi belakang sekolah, ia mulai menyileti jari-jarinya. Sebentar saja tangan dan jarinya penuh luka. Satu-satunya hal yang menghibur hatinya adalah surat-surat itu, surat dari sahabat penanya yang setia.
Namun, seorang Sahabat baru datang saat senja di Dermaga, sore hari itu.
***
Menjelang sore hari. Si Gadis mulai mengayuh sepeda tuanya menyusuri perkampungan nelayan. Sekantong penuh sayuran yang telah dibungkus di plastik-plastik kecil ia letakkan di keranjang yang terpasang di bagian depan sepedanya. Hari ini, vespa bututnya rusak. Mungkin sudah waktunya vespa itu rusak, sudah tua! Batinnya.
Ia akan mengantar sayur-sayur itu ke kedai Ibunya, yang terletak tak jauh dari rumahnya. Kedai itulah yang membantu dirinya dan adik laki-lakinya tetap bisa bersekolah. Hasil pensiunan Bapaknya tak cukup untuk menopang biaya hidup yang semakin mahal, sehingga Ibunya harus berbisnis warung kecil-kecilan. Setiap hari pun ia harus membantu Ibunya.
Sebelumnya, ia tak pernah melewati perkampungan nelayan tersebut. Ia hanya mengenal bisingnya jalan raya yang dipenuhi polusi. Ternyata perkampungan nelayan ini indah juga ya! Gumamnya, sambil terus memperhatikan sekeliling.
Tiba-tiba, di Dermaga…dia melihat seorang gadis yang sangat dikenalnya. Sahabat barunya itu! Si Gadis ingin menjumpai Sahabat barunya tersebut sambil menegur sapa. Oh iya…dia juga ingat belum memberikan cokelat sebagi upah, begitulah Si Gadis menyebut komisi yang ekskul jurnalistik berikan kepada siswa yang hasil karyanya dimuat di mading sekolah. Dia rogoh saku bajunya, cokelat itu masih ada. Dia bertekad akan memberikannya. Namun, dia urungkan karena ia ingat harus mengantarkan sayur untuk Ibunya yang telah menunggu.
***
Happy masih duduk termenung sambil memperhatikan sunset di langit, sore itu. Sebuah puisi telah selesai ia tulis.
“Hai…perkenalkan, aku Dara! Anak IPA 3!” Sapaan itu membuyarkan lamunannya. Dia terlalu takut untuk membalasnya. Seorang gadis manis telah duduk di sebelahnya sambil mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. Dengan enggan, dia membalas jabatan tangan itu. “Sebelumnya, aku mau minta maaf telah mempublikasikan puisi buatanmu di mading sekolah tanpa seijinmu!”Ucap Si Gadis.
“Emmm….kamu tahu kan ? Sebagai gantinya aku mau berikan cokelat ini, diterima ya.” Ucap gadis itu lagi, sambil tersenyum manis.
Happy memandang Si Gadis dalam-dalam. “Terima kasih.” Balasnya, sambil menerima cokelat pemberian Si Gadis tersebut. Hatinya terasa hangat saat itu. Dia merasa mendapatkan seorang Sahabat, walau ia takut menyadarinya.
***
Sepulang mengantarkan sayur untuk Ibunya. Si Gadis masih menjumpai Sahabat barunya itu duduk di Dermaga. Ia pun segera menghampirinya. Sedikit perasaan was-was muncul di hatinya, ketika Sahabat barunya tersebut memandangnya dengan tatapan aneh dan tak kunjung menyambut jabatan tangannya. Namun Si Gadis segera mengakrapi Sahabat barunya itu sambil memberikan cokelat yang telah dipersiapkannya. Dia melihat kesepian yang mendalam di mata Sahabat barunya tersebut. Si Gadis ingin mengusir kesepian tersebut dengan menjadi sahabat bagi Sahabat barunya itu.
Si Gadis bertambah heran, ketika ia melihat banyak luka membekas di jari Sahabat barunya itu. Apa gerangan yang telah terjadi. “Kamu pintar mengarang puisi ya…puisi kamu bagus-bagus.” Ucapnya, sambil melihat puisi buatan Sahabat barunya itu. “Maaf..sudah waktunya pulang.” Namun, Sahabat barunya tersebut terburu-buru pergi sambil mengambil puisi yang telah dibacanya. “Eh….Happy. tunggu!” Teriak Si Gadis sambil merapikan map yang belum sempat Sahabat barunya itu bawa.
Map kuning itu masih berserakan di depan Si Gadis. Ia ingin menyusul Sahabat barunya itu, dan memberikan map tersebut. Namun, isi map tersebut membuat jantung Si Gadis berdetak cepat. Ia baca, surat-surat di hadapannya. Surat Sahabatnya, surat yang Sahabat barunya tulis untuk dirinya sendiri. Dari Happy, Untuk Happy.
***
Untuk Surya,
AKU SAYANG KAMU!
Sahabatmu, Happy
Sebuah bekas luka baru mendarat lagi di tangan dan jari-jarinya. Dan setumpuk surat telah bertambah lagi di bawah bantalnya.
Untuk Happy,
Maafkan aku Happy, kita akan selalu sama-sama. Selamanya.
Sahabatmu, Surya
Happy semakin frustasi, Ia tidak lagi memikirkan hidupnya. Yang ia fikirkan hanya surat-surat itu. Karena ia tahu, tak ada yang menyayanginya. Pun Ayahnya, yang selalu sibuk dengan pekerjaannya sebagi dokter hewan dan pemilik Balai Besar Inseminasai Buatan. Sedangkan Ibunya, telah menikah dengan pria lain. Tidak ada yang mau mempercayainya.
Happy sendiri, sepanjang hari dengan setumpuk suratnya.
Si Gadis membalik lembar berikutnya, yang terkadang berisi puisi atau cerita panjang.
Untuk Happy,
Tenang Happy!
Aku masih menyayangimu.
Sahabatmu, Surya.
***
Air mata telah mengalir deras setelah Si Gadis selesai membaca surat-surat itu. Dia sekarang tahu, Sahabat barunya telah menderita karena kesepian, dan hanya surat-surat itu yang menghibur dan menyemangati Sahabat barunya. Si Gadis menyesal telah terlambat hadir bagi Sahabat barunya. Si Gadis berjanji akan menjadi sahabat yang selalu ada bagi Sahabat barunya sejak hari itu. Sebuah janji yang tak pernah terpenuhi, saat keesokan harinya di sekolah Si Gadis tak menjumpai Sahabat barunya itu lagi.
***
Di Dermaga. Matahari terlambat terbenam sore itu. Begitu pula dengan Si Gadis, yang terlambat mengetahui Sahabatnya itu menderita kanker otak. Frustasi, kesepian, dan sendiri memicu kanker otak Sahabatnya bertambah parah. Si Gadis pun akhirnya mengetahui perihal luka yang ada di tangan Sahabatnya setelah dia melihat Sahabat barunya itu telah terbaring, pucat di rumah sakit. “Happy…” Panggilnya saat itu. Mungkin Sahabatnya itu masih perlu istirahat... tapi kenapa tubuhnya kaku dan dingin? “Happy Cola Mitra Surya.”Panggilnya sekali lagi. Si Gadis menyebut nama lengkap Sahabatnya. Tapi, ia tetap mendapati tubuh Sahabatnya itu terbaring kaku. Si Gadis bingung, saat suster berlari tergopoh-gopoh membawa tubuh Sahabatnya itu pergi. Membawa tubuh Happy dan Surya pergi dari hadapannya.
Si Gadis menerawang jauh ke langit. “Ah…matahari memang terlambat terbenam!”
Malang, 13 September 2010


